Harta Karun Di Balik Jilbabku


Jilbab yang dikenakan wanita Muslim merupakan tanda penghormatan diri sendiri.

NEW JERSEY , AS – Roweida Abdelaziz (17), merasa diberkahi dengan jilbabnya, dan melihat selembar kain penutup kepalanya itu sebagai sebuah sumber kebebasan.

“Rasanya sangat menyenangkan,” ujar murid kelas tiga SMA itu kepada CNN pada hari Rabu, 12 Agustus.

Abdelaziz, yang orangtuanya berasal dari Mesir, dengan sukarela memilih untuk mengenakan jilbab.

“Ibu saya mengatakan bahwa perempuan itu seperti harta karun. Jika kau memiliki sesuatu yang berharga, biasanya kau akan menyembunyikannya. Kau ingin memastikan ia tersimpan dengan aman hingga harta berharga itu siap untuk ditemukan.”

Abdelaziz yakin jilbab telah menghadirkan tujuan dan dimensi yang indah dalam kehidupannya.

“Ketika kau benar-benar mengenakannya, matamu akan terbuka. Jilbab membuatmu ingin mengeksplorasi keyakinan relijiusmu,” ujarnya dengan antusias.

“Rasanya seolah seperti kehilangan sesuatu dan kini saya telah merasa lengkap.”

Sarah Hekmati, yang pertama kali mengenakan jilbab di usia 15 tahun saat tumbuh besar di Detroit, Michigan, mengatakan keputusan itu telah membebaskannya.

Sementara rekannya sesama remaja berjuang dalam masa-masa kritis dalam kehidupan mereka, ia dengan penuh percaya diri menemukan kembali dirinya sebagai seorang wanita Muslim.

“Jilbab memberiku sebuah identitas,” ujar Hekmati, wanita keturunan Iran.

“Saya sangat menyukai tujuan di balik jilbab. Seorang wanita menutupi dirinya sehingga seorang pria akan melihatnya berdasarkan pemikirannya, bukan tubuhnya.”

Islam melihat jilbab atau hijab sebagai cara berpakaian yang diwajibkan, bukan simbol relijius yang memperlihatkan afiliasi seseorang.

Namun, hijab kadang mendatangkan perhatian yang tidak diinginkan kepada para wanita atau perempuan muda tersebut.

“Kadang kau merasa seperti berada di dalam sebuah kebun binatang. Terkurung di dalam sangkar stereotype orang-orang, prasangka dan penghakiman, diarak untuk dianalisa, didekonstruksi dan direkonstruksi,” ujar Randa Abdel-Fattah, seorang penulis keturunan Palestina-Mesir yang lahir di Australia.

Hekmati, Muslim Detroit, mengatakan kadang ia mendapat tatapan dingin dan marah dari orang asing yang memperlakukannya seolah ia seorang teroris.

Yang lain seringkali tercengang dan terus menanyakan mengapa ia menutupi rambutnya.

“Seorang pemuda bertanya apakah saya alergi terhadap sinar matahari,” ujarnya.

Abdelaziz, seorang murid SMA di New Jersey, juga pernah mengalami salah satu mitos publik mengenai jilbabnya.

Namun, ia mengatakan stereotype yang paling mengganggu adalah ketika orang-orang berasumsi bahwa orangtuanya memaksanya untuk mengenakan jilbab.

“Ini bukan paksaan, ini juga bukan karena saya menerima degradasi. Ini mengenai penghormatan terhadap diri sendiri,” ujarnya ketika menjawab pertanyaan mereka.
“Ini mencerminkan keindahan bagi saya.”





Bookmark and Share






Source : suaramedia.com





Click here to get your free mobile phone or apple ipod
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
eXTReMe Tracker